Rabu, 12 Maret 2008

Gerakan Mahasiswa dan Pemilu 2009

Momentum Reformasi \'98 sebenarnya menghasilkan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk bergerak ke arah pemerintahan yang demokratis. Keberhasilan proses transisi demokrasi harus dapat dinilai dengan dua paramater utama; konsolidasi demokrasi, dan berjalannya agenda reformasi. Namun, hingga sekarang, kita tidak melihat berjalannya dua hal ini.
Kelompok reformis tidak kunjung berkonsolidasi, bahkan terancam perpecahan internal. Sementara, kelompok status quo dan Orde Baru memiliki kesempatan luas untuk melakukan konsolidasi. Sehingga, justru yang lebih dominan terjadi sebenarnya adalah konsolidasi otoriterianisme.

Sementara itu, agenda reformasi yang tertuang dalam enam visi reformasi juga tidak menampakkan perkembangan signifikan. Bahkan, budaya KKN justru mengalami formalisasi, otonomisasi, dan massalisasi.

Kebijakan rezim yang berkuasa jauh dari kerangka mensejahterakan rakyat seperti pencabutan subsidi, penjualan aset negara, melindungi konglomerat hitam, menyuburkan KKN, dan meneror masyarakat jelas-jelas menunjukkan bahwa ada kecenderungan yang sangat besar bahwa proses transisi demokrasi mengalami kemandekan.

Seiring berjalannya waktu, wacana publik sudah mulai diarahkan menyambut Pemilu 2009. Jelas terlihat seluruh media mengangkat pemilu, mulai dari agenda pendaftaran pemilih hingga calon presiden. Pemerintah juga mengeluarkan triliunan rupiah untuk sosialisasi dan image buildingpemilu.

Hal ini berdampak pada mind-set masyarakat yang berubah dan menerima pemilu seolah sebagai solusi dan keniscayaan politik. Sehingga, pemilu seolah telah menjadi arus besar realitas politik yang tak terbendung.

Padahal, sudah jelas dalam hitungan rasional dan kasat mata bahwa Pemilu tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Suara-suara status quo dan Orba akan masih mendominasi, bahkan masih mayoritas. Sementara, partai-partai reformis akan tetap terpinggirkan, meskipun mungkin terdapat kenaikan perolehan suara.

Paket undang-undang pemilu juga mengindikasikan bahwa penguasa saat ini menggunakan kekuasaannya untuk dapat tetap menang dalam pemilu. Seperti bolehnya pejabat publik untuk kampanye, mempersulit partai-partai kecil reformis untuk ikut pemilu.

Partai-partai Orde Baru dan status quomelakukan perselingkuhan untuk tetap berpeluang menjadi presiden, terlihat dengan diperbolehkannya terdakwa menjadi capres serta kualitas intelektual capres yang hanya sebatas SMU.

Dalam pelaksanaannya, pemilu di Indonesia sangat banyak diisi oleh money politics dan teror politik. Krisis ekonomi yang berkepanjangan juga semakin membuka peluang hal ini terjadi, karena masyarakat semakin pragmatis akan kebutuhan perut keluarga mereka.

Apalagi dengan tidak adanya ancaman dan tindakan tegas yang diwadahi di UU Pemilu bagi para pelanggar aturan. Sementara secara sosial, ada kecenderungan psikologis masyarakat untuk kembali pada situasi lama, yang benar-benar dimanfaatkan kelompok Orba untuk \'\'merebut kembali\'\'
kemenangan. Sehingga, pemilu tidak lain hanya menjadi alat legitimasi baru bagi partai-partai Orba dan \'\'status quois\'\' untuk semakin menguatkan cengkramannya.

Transisi demokrasi tidak selalu menghasilkan konsolidasi demokrasi. Cukup besar kecenderungannya untuk terjadi krisis dan kemunduran demokratisasi. Hal ini disebabkan oleh adanya masalah-masalah pada masa transisi.

Maka tanggapan terhadap Pemilu 2009 nanti yang dikampanyekan sebagai solusi menuju demokrasi direspons dengan tanggapan kemarahan, karena ketidakpercayaan mereka kepada pemilu sebagai kelanjutan transisi demokrasi Indonesia. Gerakan mahasiswa dan sebagian besar kaum muda meyakini bahwa
Pemilu 2009 nanti juga tidak menjamin transisi demokrasi yang sesungguhnya.

Selain karena idealisme dan temperamen kaum muda yang masih besar, juga karena gerakan mahasiswa terbebas dari kepentingan pragmatis pemilu berupa perebutan kursi legislatif. Bahkan sebagian kalangan kecil kelompok muda/mahasiswa secara tegas menyatakan sikap menolak pemilu, bahkan
menyerukan golput.

Namun di sisi lain, kondisi masyarakat saat ini masih sangat rentan dimanfaatkan oleh kekuatan Orba untuk mewujudkan apa yang justru menjadi kekhawatiran kelompok reformis, kembali berkuasanya kekuatan lama.

Dengan kultur politik yang masih belum berubah, masyarakat akan tetap mudah ditipu, diteror dan dimobilisasi demi kepentingan sesaat parpol Orba. Tingkat pendidikan dan ekonomi mayoritas masyarakat yang rendah, membuat mereka kesulitan memiliki akses informasi, pengaduan, dan advokasi.

Melihat realitas masyarakat yang demikian, sementara pemilu sudah jadi arus politik yang tak terbendung, maka lebih bijak apabila gerakan mahasiswa meninggalkan idealisme menara gadingnya dan terjun ke bawah untuk menyelamatkan masyarakat dan transisi demokrasi.

Mungkin tidak banyak yang bisa dihasilkan, tapi ini jauh lebih baik dari pilihan berlepas diri dari pemilu karena idealisme dan membiarkan masyarakat tetap dieksploitasi demi kepentingan Orba dan status quo.

Sejalan dengan kaidah \'\'mengambil mudharat terkecil di antara dua mudharat\'\'. Gerakan mahasiswa punya peluang sangat besar untuk mampu melaksanakan gerakan penyelamatan ini. Karena, gerakan mahasiswa masih dipercaya sebagai gerakan moral yang tanpa pamrih, netral, dan corong aspirasi rakyat.

Dengan pilihan gerak seperti di atas, gerakan mahasiswa dapat tetap konsisten pada gerakan ekstraparlementer dan independen terhadap semua kekuatan orpol serta memilih isu-isu yang populis.

Peran aktif dalam penyelamatan masyarakat dan indonesia masa depan dalam Pemilu 2009 nanti setidaknya dapat ditempuh dengan tiga agenda strategis, yakni pendidikan politik masyarakat (voter education), mendorong terbentuknya poros reformis, dan pemantauan pemilu.

Pertama, pendidikan politik yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar memiliki daya kritis untuk melakukan pilihan sikap dalam pemilu, dengan cara memberikan penyadaran ke masyarakat tentang hitam-putih partai politik, mana yang reformis dan mana yang anti-reformasi.

Mendeskripsikan ciri-ciri parpol Orba dan status quo, kejahatan-kejahatan Orba dan status quo, serta kelompok-kelompok pengkhianat reformasi. Dilanjutkan dengan seruan untuk tidak memilih partai Orba dan status quo. Caranya dengan melakukan penyebaran leaflet, stiker, spanduk maupun penyuluhan langsung ke masyarakat.

Aktivitas ini dipayungi oleh gerakan bersama anti-Orde Baru dan status quo, dengan membentuk aliansi organisasi, aksi, seminar, dan opini publik lainnya.

Selain itu juga dilakukan penyadaran ke masyarakat agar memiliki imunitas terhadap money politicsdan teror politik. Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat maka akan semakin tersudut kekuatan Orba dan status quo.

Gerakan anti-Orde Baru dan status quo menjelang Pemilu 2009 tidak lain adalah kelanjutan perjuangan gerakan mahasiswa selama ini. Kalau dulu dilakukan dalam konteks dan cita-cita perubahan ekstraparlementer. Sekarang dilanjutkan dalam konteks perubahan parlementer. Legenda perlawanan mahasiswa terhadap rezim Orba dan status quo tetap berlanjut, the legend continue.

Kedua, mendorong terbentuknya poros reformis. Agenda ini diarahkan agar tercipta persatuan antarkekuatan reformis serta membangun komitmen penyelamatan agenda reformasi.

Dilakukan dengan cara memfalisitasi kelompok reformis untuk duduk satu meja membahas agenda dan komitmen bersama, juga melakukan deskripsi program partai secara bersama kepada masyarakat dan kampanye bersama.

Gerakan mahasiswa juga dapat melakukan bedah program bagi partai reformis dan penegasan komitmen penyelamatan agenda reformasi. Agenda kedua ini diharapkan mampu membangan situasi kondusif bagi bersatunya kekuatan-kekuatan reformis dalam satu gerbong komitmen reformasi.

Sehingga pada muaranya akan tercipta iklim persatuan di kalangan ummat dan tidak terjadi benturan antarpendukung partai, terutama sesama partai reformis.

Gerakan ini diharapkan juga mampu mendorong terpilihnya satu paket calon presiden-wapres dari kelompok reformis. \'\'Paket Reformis\'\' ini diharapkan bisa di-launch sejak putaran pertama pemilihan presiden-wapres, karena tidak ada jaminan calon dari kelompok reformis lolos ke putaran kedua.

Ketiga, pemantauan terhadap pemilu dan proses-prosesnya. Gerakan mahasiswa dapat saja membentuk semacam lembaga pemantau pemilu yang kemudian bekerja sama dengan panwaslu ataupun dengan lembaga donor internasional.

Namun hal ini membutuhkan sangat banyak SDM untuk hal-hal yang teknis. Demi efisiensi, yang lebih tepat bagi gerakan mahasiswa adalah bekerja sama dengan lembaga pemantau yang sudah ada untuk pertukaran informasi seputar kecurangan pemilu.

Gerakan mahasiswa akan mem- blow-upisu ini dalam aksi-aksi mereka. Dengan pantauan terus-menerus ini, partai-partai politik tidak akan berani melakukan kecurangan pemilu baik money politics, teror politik, maupun manipulasi suara.

Demikianlah, tiga agenda ini dapat dilakukan kapan saja tanpa batasan waktu kampanye, bahkan hingga detik-detik menjelang Pemilu 2009.

Gerakan ini sekaligus membuktikan konsistensi gerakan mahasiswa pada visi reformasi yang dikumandangkan sejak 1998, tidak peduli dengan cara parlementer maupun ekstraparlementer, yang terpenting bagi gerakan mahasiswa adalah wujudnya reformasi dan transisi demokrasi yang dicita-citakan rakyat. Wallahu\'alam.

Tidak ada komentar: